Disclaimer : awas spoiler!
Yes, buat yang mungkin bertanya-tanya soal judul yang di atas itu, itu adalah judul film buatan Deddy Mizwar yang baru, yang saya tonton Jumat kemarin bareng hubby dan dua orang penjaga Bicara Film, Jeung Tika dan Si Ewink. Saya memang sangat tertarik dengan film-film buatan Deddy Mizwar yang biasanya sarat pesan dan sangat satire seperti Kiamat Sudah Dekat dan Naga Bonar jadi Dua.
Film tersebut dibuka dengan perdebatan seru mengenai apakah pendidikan itu penting atau tidak, serta dilema seorang Muluk yang baru lulus jadi Sarjana Management dan merasakan susahnya mencari pekerjaan yang sesuai. Sementara orang-orang sekelilingnya menggantungkan harapan yang tinggi kepadanya sebagai seorang sarjana dan tentu saja, berpendidikan. Sampai pada suatu ketika, Muluk bertemu dengan seorang pencopet cilik. Dan dibawalah Muluk bertemu dengan komplotan pencopet cilik tersebut beserta kepala gank-nya. Ntah kenapa kemudian terbersit ide di kepala Muluk untuk membantu para pencopet cilik tersebut. Bukaaaan… tentu saja Muluk tidak ikutan jadi copet. Tapi Muluk membantu para pencopet cilik tersebut mengelola uang hasil copetan mereka untuk menjadi suatu usaha yang lebih berguna, yaitu jadi tukang pedagang asongan. Muluk juga mengajak dua orang temannya untuk mengajar pendidikan dasar dan pendidikan agama kepada para pencopet cilik tersebut.
Terdengar lebay? Yes. Lebay sekali. Merubah mindset dari copet menjadi pedagang asongan sama seperti berusaha menegakan benang basah. Impossible. Tapi ketika jalan cerita menawarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaaan dan sindiran-sindiran pada diri kita, percayalah, kata lebay dan impossible itu kemudian terasa sangat logis.
Ya, film ini memang sarat pertanyaaan.
Dilema mengenai bagaimana menyikapi sebuah pekerjaan halal dan mulia (mengajar pendidikan dan agama) tetapi dibayar dari hasil pekerjaan haram (mencopet).
Perdebatan antara mending mana pekerjaan yang seperti dilakukan Muluk dan dua orang temannya atau setiap hari cuma nongkrong main gaple di pos hansip dan nungguin kuis-kuis di televisi dan mengirim berbagai macam undian yang hanya menghabiskan uang untuk membeli pulsa, amplop dan perangko.
Siapa sih yang menentukan halal dan haram.
Bahwa hafal Pancasila dan butir-butir di dalamnya belum tentu membuat seseorang jadi nasionalis dan pendidikan agama yang baik tidak serta merta membuat sseseorang untuk tidak menjadi seorang pencopet (atau koruptor).
Bagaimana tetap mencintai negara ini meskipun negara ini cuma bisa menangkap rakyat kecil yang sudah mencari duit secara halal pun masih harus dikejar-kejar kamtib juga, ketimbang menangkap para koruptor bermilyar-milyaran rupiah itu.
Atau bagaimana jika isi lagu “Indonesia Raya” itu ternyata hanya masih berupa harapan dan doa sehingga perlu mengucapkan “amin” begitu selesai dinyanyikan.
Tidak. Kalo kalian berharap mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, jangan nonton film ini. Film ini tidak menjawab semua pertanyaan itu. Film ini berakhir secara klimaks meninggalkan persepsi dalam diri kita masing-masing. Sekaligus menyadarkan kita bahwa negeri ini memang sungguh lucu.
Sayangnya, rasanya film ini bukan film terbaik dari seorang Deddy Mizwar. Alur cerita tidak terjaga dengan baik. Deddy sepertinya bingung hendak dibawa kemana jalan ceritanya. Selain itu scene-scene iklan para sponsor pun tergambar dengan kasar. Agak sedikit mengganggu. But over all, film ini layak kok ditonton.
Fakir miskin dan Anak terlantar dipelihara oleh Negara. Pasal yang sangat bagus dan UUD negara kita yang lucu ini. Jadi inget perkataan spontan seorang teman ketika kami lagi asik menghitung koin di acara Coin Collecting Day-nya CAC kapan tau.. “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Blogger” – atau malah orang-orang yang kayak Muluk itu. Ha!
0 komentar:
Posting Komentar